Jumat, 01 Juni 2012

Rumah Tangga Miskin Terjerat Rokok

JAKARTA, KOMPAS.com - Penelitian menunjukkan, banyak rumah tangga termiskin atau berpenghasilan rendah yang terperangkap konsumsi rokok. Kajian dari Lembaga demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) menyebutkan, sebanyak 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia (hampir 70 persen) memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. Sedangkan 6 dari 10 rumah tangga termiskin (57 persen) memiliki pengeluaran untuk membeli rokok.

Hal itu diutarakan Abdillah Ahsan, Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, saat acara temu media di Gedung Kementerian Kesehatan, Jumat (25/5/2012).

"Jika tidak ada upaya pengendalian konsumsi rokok, kita takutkan nanti jadi 70-80 persen rumah tangga miskin membeli rokok," paparnya.

Abdillah mengungkapkan, pengeluaran untuk rokok menempati urutan kedua setelah makanan pokok di rumah tangga termiskin. Pengeluaran untuk rokok hanya lebih kecil dari padi-padian (makanan pokok). Bahkan pengeluaran untuk rokok mengalahkan 23 jenis pengeluaran lainnya.

Banyak kesempatan yang hilang akibat rumah tangga termiskin terjebak kebiasaan rokok. Sebagai contohnya, kata Abdillah, pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga perokok termiskin 11 kali lebih besar dari pengeluaran belanja untuk daging, 7 kali lebih besar dari belanja buah, 6 kali lebih besar untuk pendidikan dan 5 kali lebih besar untuk kesehatan serta belanja susu dan telur. 

"Betapa banyak rumah tangga termiskin mengatakan susah untuk membayar uang sekolah sementara dia setiap hari masih merokok," ungkapnya.

Dalam hitung-hitungannya, Abdillah menguraikan, betapa banyak kesempatan yang hilang setelah seseorang merokok selama 10 tahun. Ia menjabarkan, jika diibaratkan konsumsi rokok per hari (satu bungkus) 10 ribu dan perbulan 30 bungkus, maka konsumsi rokok per 10 tahun bisa mencapai 3.650 bungkus (senilai Rp 36,5 juta).

"Ini melebihi biaya haji, sekolah S1 di UI, bisa buat DP rumah, beli motor, modal usaha kecil, dan franchise makanan ringan," katanya.

"Jadi ini bukan investasi. Ini mungkin investasi yang kita keluarkan sekarang, namun kita nikmati kerusakannya di kemudian hari," tegasnya.
Abdillah mengatakan, konsumsi rokok juga dapat menimbulkan kecanduan. Buktinya adalah pada krisis ekonomi tahun 1998 di mana pertumbuhan ekonomi negatif (artinya pendapatan berkurang), tapi konsumsi rokok masih meningkat. Bahkan, pada saat pendapatan turun dan harga-harga meningkat konsumsi rokok masih meningkat.
Hal lain, seperti masih terjangkaunya harga rokok juga menjadi alasan mengapa masih banyak masyarakat yang merokok. Dalam paparannya, Abdillah membandingkan antara harga rokok dan pendapatan per kapita. Jika pada tahun 2001 harga rokok dibandingkan dengan pendapatan per kapita sekitar 6 persen, maka di tahun 2010 turun menjadi 3 persen. Artinya, dari tahun 2001 ke 2010 harga rokok semakin terjangkau. 
"Memang harga rokok naik, tapi GDP perkapita (pendapatan masyarakat) naiknya lebih cepat dari pada kenaikan harga, sehingga rokok lebih terjangkau," tuturnya.
Untuk menurunkan jumlah perokok, Abdillah merekomendasikan agar segera dibuat larangan iklan,sponsorship, promosi dan CSR rokok. Disamping juga peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok, memberlakukan kawasan tanpa rokok yang ketat, dan menaikkan cukai serta PPN rokok.
"Rekomendasi utama adalah menetapkan RPP tembakau menjadi PP segera dan meratifikasi Frame Work Convention on Tobacco Control (FCTC) untuk menunjukkan komitmen pemerintah pada perlindungan kesehatan masyarakat,"tutupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar